KETAPANG, MENITNEWS.id – PT Karya Terang Utama (KTU) yang bekerja dengan satu diantara perusahaan pertambangan di wilayah Kecamatan Air Upas dinilai melanggar penerapan sitem managemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMk3), pasalnya para pekerja yang melakukan bongkar muat limbah industri pertambangan tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) mulai dari helm hingga rompi.
Sebelumnya, PT KTU juga sempat diberitakan terkait kekecewaan warga tempat perusahana tersebut beroperasi mengenai tidak adanya penyerapan tenaga kerja lokal setempat hingga tidak jelasnya penyaluran dana Corporate Social Responsibility (CSR) PT Karya Terang Utama (KTU).
Dari pantauan pada Rabu (13/12/2023) terlihat aktivitas pekerjaan yang dilakukan oleh pihak PT KTU tidak safety khususnya saat melakukan bongkar muat tailing (limbah industri pertambangan) yang menggunakan kendaraan roda 10 sekitar pukul 10.00 WIB di lokasi pertambangan di wilayah Air Upas.
Terlihat puluhan kendaraan roda 10 yang dikendarai para supir PT KTU yang tidak menggunakan helm dan rompi serta terindikasi tidak menggunakan sepatu sesuai standart keselamatan kerja.
Saat dikonfirmasi, Human Resaurces Developmen (HRD) PT KTU yang berkantor di Batang Belian site Air Upas, Dino mengaku tidak berani memberikan statemen apapun terkait kegiatan di wilayah Air Upas. Dirinya menyarankan awak media untuk langsung mengkonfirmasi kepada pimpinan di Kota Ketapang.
“Abang izin dulu ke pimpinan, setelah itu pimpinan memberikan surat ke kita baru bisa kita konfirmasi,” ucapnya kepada awak media, Rabu (13/12/2023).
Sementara itu, ketika awak media berupaya melakukan konfirmasi ke kantor PT KTU yang di jalan poros Sukadana-Ketapang, Jumat (15/12/2023) tidak ada satupun pihak dari PT KTU yang bisa ditemui, bahkan Humas PT KTU, Sainon saat dihubungi melalui telepon seluler dan pesan whatsaap juga tidak merespon.
Federasi Serikat Buruh Solidaritas Pekerja Ketapang (FSBSPK), Kartono menilai apa yang dilakukan oleh PT KTU merupakan suatu pelanggaran dalam hal penerapan sitem managemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMk3) dilingkup perusahaan.
“Karena aturan sudah jelas bahwa setiap perusahaan wajib memenuhi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3-red) berupa pemenuhan ahli K3 yang kompeten, berkontribusi pada organisasi untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan isu-isu pelanggaran norma k3 pada proses kegiatan industri nya serta memiliki struktur organisasi Panitia Pembina Keselamatan dan kesehatan kerja (P2k3-red) yang disahkan oleh dinas tenaga kerja setempat dengan tugas memberikan saran dan pertimbangan baik diminta maupun tidak kepada pengusaha dan organisasi mengenai masalah keselamatan dan kesehatan kerja,” katanya, Jumat siang.
Kartono menilai, kalau perusahaan juga harus memiliki Dokumen HIRACD (Hazard indentipication Risk Assesment Determining control) yaitu suatu metode untuk mengindentifikasi bahaya, menilai resiko dan menentukan kendali yang digunakan untuk menyusun tujuan target k3 yg akan dicapai. Setelah itu perusahaan juga harus memenuhi alat pelindung diri, sesuai jenis dan tingkat resiko kecelakaan kerja yang akan menimpa. contohnya soal penggunaan helm, rompi, sepatu hingga memasang sabuk pengaman.
“Itu wajib dijalankan dan dipenuhi pihak perusahaan apalagi perusahaan yang bekerja di bidang pertambangan yang memiliki resiko tinggi soal keselamatan kerja. Jadi apa yang terjadi di PT KTU bisa dibilang merupakan dugaan pelanggaran soal keselamatan kerja, perusahaan lalai atau abai dalam penerapan K3 sehingga harus ada sanksi tegas yang diberikan baik berupa denda maupun pidana jika tertuang soal aturan UU Nomor 1 Tahun 1970,” tegasnya.
Kartono melanjutkan, jika perusahaan serius dalam menjaga keselamatan dan kesehatan kerja para pekerjanya maka tidak akan ada pekerja yang tidak safety saat menjalankan pekerjaan. Untuk itu dirinya meminta Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Ketapang maupun Disnakertrans Provinsi Kalbar untuk melakukan langkah-langkah dalam kejadian ini.
“Disnakertrans maupun pengawas berwenang dari Dinas Provinsi harus bertindak, jangan kemudian mengabaikan pelanggaran-pelanggaran seperti ini sebab ini kaitan dengan keselamatan atau nyawa pekerja, jangan sampai ada kesan Disnaker atau pengawas tidak bekerja,” ketusnya.
Kartono juga meminta agar pihak PT CMI selaku pemberi kerja PT KTU untuk dapat mengevaluasi kejadian ini dan tegas dalam memberikan pekerjaan kepada pihak ketiga, terlebih PT KTU menurut informasi yang dirinya dapat juga diduga bermasalah tidak hanya dalam urusan K3 namun juga soal dana CSR hingga penyerapan tenaga kerja lokal.
“Karena apapun itu tentu dampak perbuataan PT KTU dapat merusak citra CMI yang selama ini dikenal sebagai perusahaan besar, jangan sampai karena kepentingan oknum soal pemberian kerja ke KTU kemudian menggadaikan nama besar CMI akibat kelakuan pihak ketiga seperti KTU yang terkesan abai dan tidak mengikuti aturan yang berlaku,” tegasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Ketapang, Nugroho melalui staf teknis sekaligus mediator ketenagakerjaan Disnakertrans Ketapang, Baharudin Udai mengatakan kalau setiap perusahaan wajib menjalankan dan memenuhi Keselamatan Kerja dan Kesehatan Kerja (K3) sehingga tidak ada alasan untuk tidak menerapkan K3 dalam aktivitas pekerjaan terlebih pada bidang dnegan resiko kerja yang tinggi termasuk bidang pertambangan.
“Sanksinya jelas di UU 1 Tahun 1970 soal pihak yang melanggar K3 sanksi bisa sampai kurungan palinga lama 3 bulan karena ini kaitannya dengan keselamatan kerja dan jiwa pekerja,” katanya.
Namun diakuinya, bahwa kewenangan dalam penerapan sanksi berada di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalbar bukan pihaknya.
“Pengawasan dan pembinaan keselamatan kerja dan kesehatan kerja kewenangan di dinas provinsi,” tukasnya. (yo)