KETAPANG, MENITNEWS.id – Yani berkendara dengan sepeda motor menembus hutan malam hari. Ia tak sendirian. Seorang mayat tepat dibelakangnya. Mayat dibawanya dari lokasi tambang emas, dengan digulung sebuah seng dan diikat di bagian belakang motor.
Tak banyak yang berani melakoni pekerjaannya. Jika anda mengaku berani, silahkan membaca pengalaman Yani, sebelum mencobanya.
Siang itu, minggu terakhir Februari, saya menghampiri satu dari beberapa pria paruh baya yang sedang berkumpul di warung kopi (warkop) di Jalan A. Yani, area Pasar Baru, Ketapang.
Tak ada yang mengira, lelaki yang duduk bersandar di dinding warna hijau itu, pernah melakoni pekerjaan yang memicu adrenalin. Butuh keberanian dan nyali besar.
Ya, lelaki itu bernama Yani. Umur 40 tahun. Ia tinggal di Kelurahan Kauman, Kecamatan Benua Kayong, Kabupaten Ketapang.
Ada rasa sungkan ketika pertama kali melihatnya. Tatapan matanya tajam. Badannya kurus namun tegap. Kulit mengkilat cokelat kehitaman. Tingginya sekitar 163 cm. Sesekali wajahnya merekah, mencipta senyum. Tawanya kerap berderai. Memecah gerimis hujan yang sedang turun, siang itu.
Yani menggenakan baju kerah abu-abu. Sebuah topi sewarna baju bertuliskan “National Geographic”. Ia menyalakan sebatang rokok kretek merk Dji Sam Soe. Asap membumbung dan berkisaran di wajahnya.
Pekerjaannya terdengar sederhana, ‘hanya’ membawa mayat keluar dari lokasi penambangan emas, menuju sebuah pelabuhan.
Tak mesti memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM). Modalnya hanya nyali sekuat baja. Kemahiran bersepeda motor. Dan, tentu saja kelembutan dan kesabaran layaknya seorang ibu, mengasuh anak yang masih balita. Perlu kehati-hatian dalam pekerjaannya.
Ia mulai bercerita. Wajahnya tersenyum. Ia mengingat memori, dimana pertama kali jadi tukang ojek. Saat itu sekitar tahun 1998. Usianya 20 tahunan dan belum menikah.
Hampir setiap hari, ia mangkal di simpang Desa Pelang bersama dengan puluhan tukang ojek lainnya. Mereka menunggu penumpang yang hendak bekerja ke lokasi tambang emas, seperti di Indotani, Lembang Tujuh, Rengas Tujuh dan Padang Bunge.
“Tahun 1998 hingga 2000-an keatas, tambang emas lagi marak-maraknya. Jadi, banyak pekerja yang menggunakan jasa ojek,untuk pergi dan pulang dari lokasi tambang,” ungkap bapak tiga anak ini.
Sebagian besar penambang dari luar Ketapang. Mereka berasal dari Kabupaten Sambas, Sintang, Sanggau, Pontianak hingga Pulau Jawa. Minimnya peralatan keselamatan dan besarnya risiko kecelakaan kerja, membuat para pekerja selalu diintai maut.
“Para pekerja dari luar membuat camp untuk tempat tinggal. Ada ratusan orang di lokasi tambang. Aktivitas seperti diperkampungan, siang dan malam sama saja. Ada warung, tempat hiburan malam hingga lokasi perjudian,” katanya.
Sambil menghembuskan asap rokoknya, Yani mengaku tak pernah memikirkan untuk membonceng mayat di atas kendaraannya. Setahun setelah jadi tukang ojek, sekitar tahun 1999, ia pertama kali menerima kerjaan sebagai ojek pembawa mayat.
Saat itu, dia sedang mangkal bersama rekan-rekannya di Simpang Desa Pelang. Hari sudah mulai sore. Seorang pekerja keluar dari lokasi tambang dengan nafas terengah. Pekerja itu mengabari, ada penambang tewas tertimbun tanah.
Pekerja itu orang suruhan kepala rombongan pencari emas. Dia ditugasi mencari tukang ojek yang bersedia membawa mayat. Didorong kebutuhan ekonomi, Yani menerima tawaran itu.
Tugasnya, bawa jenazah dari lokasi tambang menuju Pelabuhan Teluk Batang, Kecamatan Teluk Batang (saat itu masih jadi bagian Kabupaten Ketapang. Setelah pemekaran, menjadi wilayah Kabupaten Kayong Utara).
Ia langsung memacu sepeda motor merk KTM yang shocknya sudah dimodifikasi menuju lokasi tambang. Sendirian. Butuh waktu tiga hingga empat jam dari lokasi mangkal menuju tambang.
“Sepanjang jalan hanya hutan dan tanah kuning,” ingatnya.
Sampai di lokasi tambang, ia tak langsung membawa mayat, layaknya ngojek orang hidup. Starter motor, naik langsung tancap gas. Perlu persiapan khusus sebelum membawanya.
Mayat terlebih dahulu dilapisi kain. Kemudian, dibalut terpal. Terakhir, mayat digulung dengan lembaran seng dan diikat menggunakan kawat.
“Seng itu gunanya, agar sepanjang perjalanan mayat tidak bergerak. Setelah digulung seng, terus diikat dengan getah beladar (ban dalam-red) di bagian shock dan besi pegangan belakang motor, posisi mayat melintang. Saat itu saya dapat upah Rp 800 ribu,” ujarnya.
Butuh tujuh hingga delapan jam, membawa mayat dari lokasi tambang menuju Pelabuhan Telok Batang. Pengalaman pertama selalu melekat diingatannya. Bukan hanya rasa takut yang dihadapi. Rasa lelah harus dilawan. Butuh tenaga ekstra dan tangan kuat memegang stang motor, selama berjam-jam tanpa henti.
Membawa mayat jauh lebih sulit dibanding orang hidup. Tak hanya karena tak bisa diajak bicara selama perjalanan, berat tubuh mayat jauh lebih berat dibanding manusia hidup.
Setiba di Pelabuhan Telok Batang, kepala rombongan yang bertanggung jawab atas pekerja dari luar Ketapang sudah menunggu. Setelah diturunkan dari motor, mayat dinaikkan ke speedboat menuju Pontianak.
*Minum Arak
Tak semua pengojek berani menerima kerjaan membawa mayat dari lokasi tambang. Hanya ada belasan tukang ojek yang berani. Satu diantaranya adalah Yani. Rasa takut tetap ada. Namun, karena kebutuhan ekonomi, rasa takut itu dilawannya. Salah satu cara mengatasinya, minum alkohol sebelum membawa mayat.
Tukang ojek yang mangkal bareng Yani, sebagian besar dari Kecamatan Matan Hilir Selatan. Seperti dari Pelang, Pesaguan dan Kecamatan Benua Kayong. Sebelum bawa mayat, biasanya minum arak. Hampir satu botol.
“Jadi, tidak ada rasa takut. Konsentrasi juga tidak hilang, malah semakin fokus bawa motornya, asalkan tidak sampai mabuk. Kan kita juga kontrol,” kenang Yani.
Selain menyiasati rasa takut dalam diri, kesulitan lain yang dihadapi adalah, perjuangan bonceng mayat dari lokasi tambang menuju Pelabuhan Teluk Batang. Kondisi jalan sempit dan dikelilingi hutan, jadi tantangan tersendiri.
Jalan di lokasi masih berupa tanah kuning. Kalau musim hujan jalan hancur. Jika ada kendaraan berlawanan arah masuk menuju lokasi tambang, mereka mesti menepi dulu.
Hampir setiap bulan, ada pekerja meninggal akibat kecelakaan kerja. Jumlahnya mencapai puluhan pekerja. Mereka dievakuasi dengan ojek. Sekali ojek, tarifnya cukup mahal. Apalagi ada kategori tarif, bagi mayat-mayat tertentu.
“Untuk biaya paling murah Rp800 ribu. Tergantung kondisi mayat, apakah kondisinya masih utuh atau sudah hancur. Kalau hancur atau tubuhnya besar, biayanya Rp1,5 juta,” jelas Yani.
Selama bekerja jadi tukang ojek dari tahun 1998 hingga 2002, Yani pernah lima kali bawa mayat. Ia tak selalu sendiri ketika bawa mayat. Pernah terjadi kecelakaan kerja di lokasi tambang, beberapa pekerja meninggal. Ia dan beberapa rekannya, turun bersama ke lokasi tambang, dan membawa mayat menuju Pelabuhan Telok Batang.
“Kalau ada orderan lebih dari satu, turunnya sama teman ojek lain. Biasa sama Ilham, orang Padang dan Harun, orang Pesaguan. Kita iring-iringan bawa mayat,” tuturnya.
Selama jadi pengojek mayat, dia selalu jalan malam hari. Jalan relatif sepi. Warga jarang keluar rumah, dibandingkan siang atau sore hari.
“Bukan rahasia umum lagi, soal tukang ojek bawa mayat. Orang bisa dengan mudah menebak, tukang ojek bawa mayat. Jika motor yang digunakan banyak tanah kuning, bawa barang dibungkus seng melintang, itu sudah pasti mayat yang dibawa,” ceritanya.
Kini, sudah belasan tahun ia berhenti dari pekerjaan tersebut. Namun, ingatan tentang kejadian-kejadian aneh di luar nalar manusia, tak mudah dilupakan. Sampai sekarang, ia selalu ingat kejadian itu.
Ada kejadian lucu, ketika terjatuh bersama mayat yang dibawanya di meting jalan Desa Pelang.
“Mayatnya juga ikut jatuh karena ikatannya lepas. Saat itu hari sudah larut, tidak ada lampu penerangan, sekeliling juga masih hutan,” ujarnya.
Ia tidak sanggup mengangkat mayat itu. Berat sekali. Ia menepi sambil menunggu orang lewat. Tak ada handphone untuk menelepon. Beruntung ada teman lewat.
“Ia bantu menaikkan dan mengikat mayat ke atas motor saya,” akunya.
Kejadian mistis pun sering dialami. Seperti, anjing menggonggong bersahutan, ketika dirinya melintas. Begitu pun hembusan angin yang kadang dingin dan panas. Datang silih berganti.
Ia juga kerap melihat pohon-pohon di sepanjang jalan, bergoyang seolah melambai dirinya.
“Saat itu tidak ada angin kencang. Tapi pohonnya seperti melambai-lambai,” ceritanya.
Pernah juga motor seperti tak bergerak. Ada yang menahan. Padahal, motor sudah digas. Menghadapi itu, hal penting yang mesti dilakukan adalah, tetap fokus membawa motornya.
Yani terakhir kali menerima permintaan membawa mayat tahun 2002. Ketika itu, anaknya berusia satu tahun. Ada hal menarik yang mendasari dirinya, berhenti jadi pengojek mayat.
Dia menutupi pekerjaan itu dari istri yang dinikahinya sekitar tahun 2000, dan keluarganya. Pekerjaan sambilan itu terbongkar, ketika dia bawa pulang mayat ke rumahnya.
Saat itu, dia sudah tak tahan berkendara lagi. Lelah sekali. Ia memutuskan singgah ke rumahnya. Istirahat sejenak. Sampai dirumah, motor berpenumpang mayat di parkir di bawah pohon mangga. Sang ibu melihat dan bertanya.
“Apa yang dibawa di motor itu?” tanya sang ibu.
“Mayat,” jawabnya singkat.
Sontak saja, ibu dan istrinya marah. Ia bergegas bawa motor beserta mayat menuju Pelabuhan Telok Batang.
Setelah kejadian itu, ia berhenti jadi pengojek mayat. Selain karena nasehat orangtua, fisik tak mampu lagi.
“Saya tobat. Dibayar berapa pun saya tidak mau lagi. Lebih enak bawa 1000 orang, daripada bawa satu mayat,” ujarnya.
*Terkubur di Tambang
Banyaknya orang yang tertimbun di tambang emas dan dibawa para pengojek, dibenarkan mantan penambang, Burhanudin (58), Warga Desa Pesaguan, Kecamatan Matan Hilir Selatan. Dia memiliki kisah yang tak kalah seru.
Suatu siang, Burhanudin (58) di tanah lapang dengan luas ribuan hektare, di lokasi tambang Lembang Tujuh, Matan Hilir Selatan (MHS), Kabupaten Ketapang. Ribuan orang berjibaku bersama ratusan mesin dompeng ditengah terik matahari.
Suara mesin dompeng membelah udara di tanah lapang. Kerumunan orang sibuk dengan pekerjaannya. Ada yang menyemprot pasir hingga kedalaman belasan meter. Ada yang mengawasi dari atas, biasanya bos atau toke, kebanyakan dari Singkawang. Tugasnya mengawasi tanah di lokasi penyemprotan. Ketika terjadi retakan, ia beritahu pekerja di bawah.
Satu toke biasanya memiliki belasan mesin dompeng.
Emas biasanya di bawah batu cadas yang diselimuti pasir. Para pekerja harus menembak mesin penyemprot ke dalam tanah berpasir. Setelah beberapa meter pasir dibawa naik ke atas, hingga belasan meter, kemudian masuk ke bawah.
“Resikonya besar. Batu cadas keras, kalau tak berhati-hati nyawa taruhannya,” akunya.
Ia menceritakan, kerabatnya pernah menjadi korban. Siang itu,dia sedang menggali secara manual. Seketika terdengar suara runtuhan. Semua mata tertuju pada satu lubang yang didalamnya, terdapat beberapa pekerja. Kerabatnya ada diantarapara pekerja. Mereka tertimbun longsoran.
“Lubang yang longsor terus disemprot menggunakan mesin dompeng, hingga akhirnya para pekerja ditemukan. Namun, tak ada yang selamat. Semua meninggal,” akunya.
Runtuhnya tanah bukan hanya kali itu saja. Sering terjadi reruntuhan, penyebabnya?
“Pekerja terlalu berani dan terburu-buru, tanpa memperhatikan batu cadas. Percuma ada toke yang mantau dari atas, sebab kejadian selalu seketika. Tak ada pekerja yang bisa menyelamatkan diri,” jelasnya.
Burhan mengaku, saat itu, tak hanya pekerja tambang yang dapat berkah dari keberadaan emas. Para tukang ojek pun demikian. Maklum jalan menuju lokasi tambang, hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Tukang ojek kebanjiran pesanan bawa penambang dan mayat dari lokasi tambang. Kebanyakan ke pelabuhan Telok Batang.
“Saat itu ada tukang ojek yang bawa mayat. Mayat pekerja dibersihkan dulu, kemudian digulung memakai seng dibawa ke pelabuhan,” tuturnya.
Tak semua mayat pekerja dievakuasi dan dibawa menggunakan ojek mayat. Ada pula toke-toke pekerja yang tidak kuasa mencari anak buahnya yang tertimbun. Suasana keramaian membuat tak semua orang menyadari ada yang tertimbun.
“Ada toke yang pura-pura tidak tahu. Ada juga yang satu longsoran misalkan enam pekerja, tiga bisa dievakuasi, tiga tidak bisa, kadang dibiarkan. Lokasi tambang bisa dikatakan kuburan massal,” tuturnya.
Bapak tiga anak yang bekerja sejak 2000 hingga 2008 ini, telah menjajal beberapa lokasi tambang. Tak semua lokasi tambang kondisinya sama. Di Indotani, Lembang Tujoh, wilayah tambang itu berupa pasir dan batu cadas. Di Rengas Tujoh,Kecamatan Tumbang Titi, wilayahnya bebatuan dan tanah kuning.
Di Rengas Tujoh, para pekerja membuat sumur dengan kedalaman sepanjang 60 meter. Setelah itu dibuat jalur terowongan untuk mengambil emas. Lebar terowongan sekitar 1-1,5 meter. Pada dinding atas terowongan dilapis papan, dan dibuat seperti model dek. Setelah itu diberi tongkat kayu untuk menahan tanah.
“Pekerjanya di Rengas Tujoh kebanyakan orang Tasik (Jawa Barat, red). Berbeda dengan di Lembang Tujoh, kebanyakan orang Pontianak, Sambas, Sintang, Sanggau,” katanya.
Selama kerja di wilayah tersebut, kerap terjadi longsor di terowongan. Pernah satu terowongan berisi sembilan pekerja. Karena terlalu asik menggali terowongan, akhirnya terowongan jebol terkena air. Delapan orang sempat menyelamatkan diri. Satu orang meninggal di terowongan.
“Dari sembilan itu, delapan orang Tasik, satu orang warga Ketapang. Kalau tidak salah namanya Edi, tinggal di Kampung Padang,” ingatnya.
Di daerah ini, mayat tak dibawa menggunakan ojek motor. Di dekat lokasi terdapat aliran sungai menembus hingga ke Kalteng. Sebagian besar mayat dibawa menggunakan motor air atau speed. (Adhi)