KETAPANG, MENITNEWS.id – PT Hungarindo Persada dinilai telah melakukan pembohongan publik setelah Manager PT Hungarindo Persada, Suyitno, mengaku telah mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) sejak tahun 2016, padahal sampai saat ini Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ketapang mengaku bahwa PT Hungarindo Persada belum memiliki HGU bahkan belum mendaftarkan kadastral ke BPN untuk penerbitan HGU.
Kasi Infrastruktur Pertanahan Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ketapang, Suyanto, mengaku bahwa PT Hungarindo Persada baru mengantongi Izin Usaha Perkebunan (IUP) nomor 1454/DMPTSP-D.B/2017 tanggal 16 November 2017.
“Baru IUP, kalau HGU belum ada,” ungkapnya, Minggu (16/2/2020).
Ia melanjutkan, selain belum mengantongi HGU, perusahaan tersebut juga diketahui belum belum melakukan pendaftaran kadastral kepada BPN sebagai salah satu syarat untuk penerbitan HGU.
“HGU tidak akan keluar jika tidak didaftarkan dan melalui proses kadastral, dan sejauh ini kadastral untuk pengajuan HGU belum didaftarkan,” terangnya.
Ia menerangkan, proses penertiban HGU merupakan finalisasi dari beberapa tahapan, mulai dari informasi lahan, izin lokasi, perusahaan melakukan sosialisasi dan perolehan lahan melalui ganti rugi, dan lain sebagainya serta pengajuan IUP, setelah IUP keluar baru proses pengajuan permohonan HGU yang tahapannya dimulai dari kadastral.
Selain itu, proses selanjutnya ke pemeriksaan panitia B dan sidang panitia B yang melibatkan semua komponen. Nantinya ketika semua tahapan sudah dilakukan dan tidak ada persoalan baru kemudian dibuat pengantar ke Pemerintah Pusat untuk penerbitan SK pemberian hak dan lahirlah HGU.
“Semua prosesnya panjang dan harus clear and clean,” terangnya.
Ia menambahkan, jika didalam izin lokasi terdapat tanah masyarakat yang sudah terbit hak atau belum terbit hak (sertifikat) maka itu tidak menjadi masalah, lantaran perolehan tanah bisa berasal dari tanah negara yang belum dilengkapi hak, atau tanah negara yang sudah berstatus hak dan dilepaskan pemegang hak kepada badan hukum yang mengantongi IUP. Sehingga lahan tersebut bisa diambil atau masuk dalam IUP perusahaan jika sudah ada kesepakatan antara pemilik hak dengan pemegang IUP. Baik itu melalui ganti rugi atau sebagainya.
Namun, jika masyaramat memiliki hak atas tanah yang masuk ke dalam IUP, maka lahan itu masih menjadi milik masyarakat dan masyarakat boleh melepaskan lahan itu atau tidak, jika tidak mau dilepaskan maka harus dikeluarkan dari IUP atau enklave.
Sedangkan, mengenai pengajuan sertifikat oleh beberapa kelompok warga yang masuk dalam IUP PT Hungarindo dilakukan pada tahun 2018 lalu, ia menjelaskan bahkan warga telah melakukan pembayaran yakni penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp2.950.000 dengan rincian biaya pengukuran Rp2.100.000 dan biaya pemeriksaan tanah Rp850.000.
Saat ini sertifikat belum diterbitkan lantaran terdapat beberapa persoalan mulai dari kelengkapan gambar ukur yang saat itu belum lengkap dan adanga overlaping dengan perusahaan yang baru diketahui oleh BPN setelah melakukan pengukuran di lapangan.
“Setelah turun melakukan pengukuran diketahui ada persoalan overlaping antaran warga dengan perusahaan, sebelumnya kami tidak tahu,”
Diberitakan sebelumnya, Manager PT Hungarindo Persada, Suyitno mengaku kalau adanya tanam tumbuh masyarakat yang masuk dalam Hak Guna Usaha (HGU) perusahaannya, ia menegaskan HGU sudah ada sejak tahun 2016 lalu.
“HGU sudah ada sejak tahun 2016,” katanya, Jum’at (14/2/2020). (eo)